Korupsi, Mengenali Faktor ”Why” Secara Psikologis

Korupsi, sebagai suatu tindakan ketidakjujuran, rupanya masih merajalela di negara kita. Edukasi mengenai korupsi rasanya perlu dioptimalkan dalam kurikulum pendidikan di Indonesia guna melatih anak sedari dini untuk membangun karakter jujur dan memiliki pola pikir bahwa berani jujur hebat sehingga terhindar dari segala bentuk korupsi. Sebagai orang dewasa, peran kita juga dibutuhkan khususnya dalam memahami penyebab terjadinya korupsi sehingga dapat lebih berhati-hati dalam berpikir dan bertindak agar tidak terjerumus ke dalam perilaku tersebut.

Ada berbagai faktor yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan korupsi dimana salah satunya adalah faktor psikologis. Adapun faktor-faktor psikologis tersebut adalah sebagai berikut:

1. Persepsi

Seseorang dapat melakukan korupsi karena dipengaruhi oleh persepsi orang tersebut mengenai korupsi, norma sosial, dan penegakan hukum yang berlaku. Apabila seseorang memiliki persepsi bahwa tindakan korupsi merupakan hal yang dapat dimaklumi serta didukung oleh lingkungan, hingga tidak adanya konsekuensi baik secara sosial maupun legal terhadap tindakan tersebut, maka orang tersebut akan dengan mudah melakukannya. Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi persepsi akan korupsi adalah nilai di masyarakat, bahwa orang hanya dihargai berdasarkan kekayaan, sosok pemimpin yang tidak jujur, kelemahan manajemen dalam suatu organisasi, serta lemahnya moral.

 

2. Kepribadian

Ada beberapa teori psikologi yang melatarbelakangi seseorang melakukan korupsi. Salah satunya adalah teori kepribadian The Big Five Personality. Dalam teori ini dijelaskan bahwa kepribadian manusia terdiri dari lima dimensi yaitu Openness, Conscientiousness, Extraversion, Agreeableness, dan Neuroticism atau yang biasa disebut dengan OCEAN. Dalam hal perilaku korupsi dapat dilatarbelakangi oleh tingkat neuroticism tinggi dan extraversion yang rendah. Hal ini didukung oleh penelitian Conelly & Ones (2008) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tipe kepribadian dengan tingkat korupsi di mana negara dengan tingkat neuroticism rendah dan extraversion tinggi cenderung memiliki tingkat korupsi yang rendah.

 

Menurut Power & Pluess (2005), neuroticism adalah karakter yang didasari perasaan seperti rasa sedih, perubahan mood, dan ketidakstabilan emosi sehingga orang dengan tingkat neuroticism yang tinggi cenderung mudah merasa sedih, marah, gelisah, dan mengalami perubahan mood ekstrim. Sementara orang dengan tingkat neuroticism rendah dinilai lebih kuat dan stabil dalam memecahkan masalah. Adapun extraversion berkaitan dengan kemampuan dalam bersosialisasi, berbicara, menyampaikan pendapat, dan cara mengekspresikan emosi sehingga orang dengan tingkat extraversion tinggi dinilai suka bersosialisasi, aktif, energik, dan antusias.

 

3. Motivasi

Penyebab lainnya seseorang melakukan korupsi adalah karena adanya motivasi atau motif. Bentuk dari motif ini biasanya berupa ambisi untuk berprestasi atau berkuasa sehingga orang tersebut akan menghalalkan segala cara guna mencapai posisi tertentu dan memiliki kuasa yang besar.

 

Motif untuk berkuasa ini juga bisa berasal dari tekanan eksternal. Misalnya dalam dunia politik, ada yang dikenal dengan istilah money politics yaitu seseorang akan bisa mendapatkan keuntungan besar atau memperoleh kemenangan dalam suatu persaingan apabila mampu menyogok atau membeli suara para pemilih. Melalui dorongan ini, seseorang akan sangat mudah tergoda untuk melakukan korupsi karena merasa bahwa uang hasil korupsi tersebut mampu membuat dirinya berkuasa.

 

4. Locus of control

Locus of control lebih menekankan kepada keyakinan seseorang terhadap pusat kendali hidupnya apakah berasal dari internal atau eksternal. Individu dengan pusat kendali hidup dari internal memiliki standar moral, bertanggung jawab dan memiliki kemauan untuk melawan tekanan kelompok. Sedangkan individu dengan pusat kendali hidup dari eksternal cenderung mudah terpengaruh oleh lingkungan, kurang memiliki tanggung jawab dan mudah menyerah pada tekanan kelompok sehingga sulit bagi dirinya untuk menghindari godaan atau justru memanfaatkan kesempatan yang ada untuk melakukan korupsi.

 

5. Kondisi lingkungan atau kelompok

Seorang individu dapat melakukan korupsi karena adanya pengaruh dari lingkungan atau kelompok. Berdasarkan teori psikologi, jenis perilaku individu di dalam kelompok dibagi menjadi:

  • Obedience, ketika sikap dan perilaku individu ditentukan oleh orang lain yang memiliki otoritas lebih tinggi. Dalam hal ini, seseorang dapat melakukan korupsi karena takut pada atasan yang memerintahkannya dan merasa tidak punya kuasa untuk menolak.
  • Conformity, ketika sikap dan perilaku individu ditentukan oleh oleh mayoritas di dalam kelompok. Seseorang melakukan korupsi karena hal tersebut menjadi norma atau kebiasaan dan ia takut menjadi berbeda.
  • Compliance, ketika sikap dan perilaku individu muncul atas dasar kesepakatan. Korupsi dapat terjadi apabila beberapa orang sepakat untuk memberi atau menerima keuntungan dari korupsi tersebut.

Itu tadi 5 faktor psikologis yang bisa menjadi penyebab mengapa seseorang dapat melakukan tindakan korupsi. Meski begitu, apapun penyebabnya, tentu saja korupsi seharusnya tidak dilakukan. Sebagai masyarakat, kita juga bisa berpartisipasi dalam upaya pencegahan korupsi ini, dimulai dari diri sendiri. Karena itu, yuk, perbanyak informasi mengenai gerakan antikorupsi pada Pusat Edukasi Antikorupsi, ACLC KP!